Bismillahirrahmanirrahiim
Beberapa tahun yang lalu saya mencari produk Microphone portable yang biasa dipakai para Vlogger yaitu Rode Video Mic Go dan rentetan jenis lainnya, informasi yang saya dapatkan adalah di pasaran terdapat 2 jenis yang beredar yaitu Original dan Tiruan (KW Zzupper), namun yang KW harganya beda tipis sekali karena tidak ingin terlihat KW, kalau Original garansi pabrik 2 Tahun, kalau KW hanya garansi toko 6 bulan, dan banyak isu-isu lain di forum jual beli, karena saya takut tertipu jika beli online, akhirnya saya bela-belain ke Jakarta di Mangga Dua, setelah saya berkeliling, rentang harganya cukup jauh, dari Rp450.000 sampai Rp2.000.000, ada 1 hal yang menarik, setiap toko yang menawarkan harga seperti Rp799.000, Rp895.500, Rp 995.000, dan seterusnya, entah kenapa saya langsung kabur tiap ditawari harga seperti itu, saya lagi nyari barang yang ORI, harga yang ditawarkan tadi terasa meragukan, terasa “tidak pas”, namun sampailah saya di toko yang menawarkan Rp1.000.000 dan Rp2.000.000, harga yang membuat saya langsung berhenti, tidak mau pindah-pindah toko lagi, saya tidak mengerti, apa yang terjadi?
Barulah setelah saya mempelajari Pricing Psychology, saya menemukan yang namanya Luxury Price, yaitu tentang Harga yang cocok untuk barang mewah/bergengsi/original. Bagi saya, sebenarnya membeli Microphone yang harga dibawah Rp50.000 sekalipun bisa saja, tapi saya menginginkan hasil suara yang sangat jernih, selain itu brand Rode Video Mic terlihat keren dan berkelas, maka ini adalah luxury product bagi saya, saya membelinya karena “emotional”, bukan “rational”.
Dalam teori Luxury Price, peneliti menemukan bahwa produk yang dianggap “Lux” atau “Prestige” oleh calon customer, tidak cocok diberikan Charming Price atau harga yang mengandung bilangan Presisi seperti Rp799.000, Rp895.500, Rp995.000, Rp1.125.900, dan seterusnya (Silahkan tonton Video tentang Harga Presisi), lalu apa yang membuat tidak cocok? Mengapa muncul perasaan “tidak pas”? Berikut penelitiannya:
Wadhwa dan Zhang pada tahun 2014 melakukan penelitian tentang Angka pada harga yang “Feels Right”, terasa benar, terasa cocok, terasa pas. Mereka mengelompokan customer dalam 2 kategori, orang yang membeli barang dengan dorongan Emosional/Perasaan/Feelings, dengan orang yang membeli barang atas dorongan Rasional/Logika.
Maka untuk Luxury Product, barang mewah/prestise, dorongan yang dominan adalah Emosional/Perasaan, untuk jenis dorongan ini, peneliti menemukan bahwa mereka tidak menyukai harga dengan angka yang Charming maupun presisi, ini didukung oleh penelitian Schindler tahun 2005:
Schindler menjelaskan hasil penelitian beliau tentang dampak charming price dan bilangan presisi bagi persepsi customer, dan beliau menemukan bahwa charming price dan bilangan presisi itu memberi sinyal pada otak bahwa produk tersebut harganya rendah, diskonan, promo, dan tidak memberi kesan “prestige” (tidak bergengsi), dan ini sangat cocok bagi orang yang membeli barang dengan dorongan Logikanya atau rasionalitasnya.
Maka sekarang saya mengerti kenapa saat dulu pedagang di Mangga Dua menawarkan saya Microphone dengan harga Charming dan Presisi saya selalu kabur, Heeey.. Saya sedang mencari barang Original, Prestige, Lux, maka memberikan saya Charming Price & Harga Presisi, adalah KESALAHAN FATAL, that’s price doesn’t Feels Right, memberikan charming price & harga presisi pada barang “Lux” seakan menyatukan Puzzle bahan karton dengan mainan Lego, tidak cocok, bukan pasangannya, jelaslah saya kabur lihat harga yang seperti itu, Microphone keren dan original yang saya inginkan tidak seperti itu harganya.
Teman-teman bisa bayangkan? perubahan detail yang sangat kecil pada label harga, dapat berdampak sangat besar pada bisnis kita, sayangnya jarang dari kita yang mau belajar sedalam ini, jaulan ya jaulan aja, untung-untungan, pake strategi yang berasal dari “katanya”, padahal segala sesuatu di dunia ini ada ilmunya, ada SCIENCEnya, mulailah mencari ilmu yang berdasarkan Fakta, Data, bukan Opini, bukan Katanya.
Silahkan tonton video Harga Mewah dan Harga Presisi di Video Berikut:
Terima kasih, semoga bermanfaat, sukses untuk bisnismu kawan^^.
Referensi:
1. Schindler, R. M., & Kibarian, T. M. (2001). Image communicated by the use of 99 endings in advertised prices. Journal of Advertising, 30(4), 95-99.
2. Wadhwa, M., & Zhang, K. (2015). This number just feels right: The impact of roundedness of price numbers on product evaluations. Journal of Consumer Research, 41(5), 1172-1185.
[amp-cta id=’8561′]